Kamis, 31 Mei 2012

Sepanjang Jalan Kenangan

Para netters tentunya pasti ingat apabila tersebut atau tertulis sebuah kalimat seperti di atas, akan tetapi yang aku alami bukanlah seperti itu. Dan yang aku maksud adalah kisah nyata sepanjang jalan antara Temanggung – Semarang.

Aku adalah lelaki berumur 29 Tahun, namaku sebut saja Andi dan sudah menikah bahkan mempunyai seorang anak laki-laki 3 tahun. Cerita ini berawal ketika aku mengantar istriku dalam rangka liburannya (dia seorang dosen) ke salah satu kabupaten di Karesidenan Banyumas sana dan aku sendiri bekerja sebagai “officer” di salah satu perusahaan PMA di Surabaya. Sekembalinya aku dari Banyumas itu aku lewat jalur Wonosobo karena untuk ke arah Semarang lebih cepat. Saat bus berhenti di agen Temanggung teringatlah aku memory dengan bekas pacarku saat aku kuliah di Semarang dan karena kedua orangtuanya tidak setuju akhirnya kami berpisah secara baik-baik.

Dia adalah gadis di sebuah desa di lereng Gunung Sumbing. Wajahnya bulat cantik, bibirnya mirip penyayi Paramitha Rusadi dan bodinya ambooyy. “Aaah…” aku menghela nafas kembali sejenak melintas bayangan wajah itu, wajah seorang Yunita. Dan aku masih mengenang sebuah “French kiss” perpisahan kami di bentangan kebun teh itu dan berlanjut hingga mahkotanya yang terjaga selama ini diserahkan kepadaku. Diiringi mentari yang menyelimuti dirinya dengan kabut putih beriringan dengan desahan dan lenguhan di antara sejuknya udara kota itu. Ada sedikit tanda merah yang tertinggal di rok dalamnya sebelum aku meminta diri untuk meninggalkan semua yang ada di dirinya.

“Maaf Mas apa kursi ini kosong?” tanya suara itu.
Aku terkejut. Oh Tuhan rupanya aku melamun cukup lama tadi itu, gumamku dalam hati. Belum habis rasa terkejutku aku tersentak ketika aku memalingkan kepada seraut wajah itu.
“Ka… kaa.. mu.. Yunn!” teriakku demikian pula gadis itu.
“Mass.. Andi..” saut Gadis itu yang ternyata adalah Yunita dan ia tidak dapat membendung air matanya dan jatuhlah ia dalam pelukku.
“Aku kangen padamu Yun!” aku membuka perbincangan kami berdua.
“Aku juga kangen Mas!” bisiknya sambil merebahkan pundaknya di bahuku.
Entah siapa yang memulai tiba-tiba bibir kami hanyut dalam kemesraan karena Bus “Patas” yang kami naiki itu kebetulan tidak penuh bahkan beberapa kursi saja yang terisi. Aku yang sudah terangsang sekali karena seminggu belakangan ini tidak bercinta dengan istriku. Kulumat bibirnya yang paling kusukai itu dan desahannya semakin menjadi saat ujung lidahku memainkan belakang kupingnya. Aku mengambil kedua pahanya dan aku tumpukan pada pahaku sementara kepalanya bersandar pada bantal. Tepat disela-sela pantatnya batang kemaluanku yang sedari tadi bangkit setengah tiang dan menyembul mendorong celana casual-ku.

Takut dengan penumpang lain, aku buru-buru menyumpali bibirnya dengan bibirku. Tanganku dibimbingnya menuju busungan dadanya (dia seorang Tae Kwon Do-in). Tanpa diperintah aku menelusupkan tanganku ke kedua bukitnya yang kenyal itu.
“Aaakhh…” desahnya tertahan.
“Mass! aku kangeen banget sama Mas Andi,” bisiknya saat aku mulai mengecup mesra putingnya.
“Oooukh.. Mass… aku nggaak kuath!” bisiknya.
Sementara aku mangambil bantal satu lagi dan kusandarkan di “legrest” dekat jendela. Dia menjambak rambutku amat kuat saat putingnya kugigit-gigit. Sementara puting satunya kupilin dengan telunjuk dan jempolku. Badanku mulai hangat, demikian pula tubuh Yunita semakin menggelinjang tak karuan. Aku masih saja memberikan sensasi kenikmatan pada kedua putingnya dan ternyata itu merupakan titik didihnya dia.

Sekitar tiga menit kemudian, “Oookkh Maaass… akuu maauu.. sss.. saamp…” desahnya saat aku menyudut kencang payudaranya hingga tenggelam setengahnya di mulutku. Ia menggelinjang pelan dan ia menggosok-gosok kedua pahanya dan celana kulotnya mulai lembab oleh cairan maninya. Sesaat kemudian kupelorotkan celana kulotnya serta CD-nya dan Yunita makin menggelepar hebat dan secepat kilat aku mencium rambut-rambut di bawah pusarnya, hhhmm.. harum sekali. Tiba-tiba kepalaku ditekannya menuju lubang kewanitaannya dan aku bagai kerbau di congok menuruti saja apa yang ia inginkan. Kusibakkan “labia mayora” dan “labia minora”-nya dan tersembullah klitorisnya yang kemerahan dan sekejap lalu kumainkan ujung lidahku di sana. Sementara jari tengahku memainkan liang kemaluannya. kutusuk pelan-pelan dan kukeluar-masukkan degan lembut. Yunita semakin tak menguasai dirinya dan mengambil bantal untuk menutup mulutnya dan aku hanya mendengar suara desahan yang tak begitu jelas. Akan tetapi Yunita bereaksi hebat dan tak lagi menguasai posisinya di pangkuanku. Batang kemaluanku yang sedari tadi tegang rasanya sia-sia kalau tidak aku sarangkan di lubang kemaluan wanita yang kukagumi itu. Aku mengangkat sedikit pinggulnya dan kubuka zipper lalu kukeluarkan batang kemaluanku, sementara aku mulai mengatur posisi Yunita untuk kumasuki.

“Slepph!” dengan mudah kepala batang kemaluanku masuk karena lubang kemaluannya sudah lembab dari tadi. Bersamaan itu Yunita mengernyitkan dahinya dan mendesah,
“Aaakkhh… Pelannn dikit Yang… efffmhh… ookhhh…” Yunita menjerit lirih saat semua batang kemaluanku menjejali rongga rahimya yang masih mampu memijit meski seorang “Putri”-nya telah keluar dari rahim itu.
Rasanya begitu hangat dan sensasional dan aku membisikkan padanya agar jangan menggoyangkan pantatnya. Kami rindu dan ingin berlama-lama menikmati moment kami kedua yang amat indah, syahdu dan nikmat ini. Aku melipat pahaku dan aku melusupkan dibalik punggungnya agar dia merasa nyaman dan memaksimalkan seluruh batang kemaluanku di rahimnya. Kurengkuh tengkuknya dan kulumat bibirnya dengan lembut bergantian ke belakang telinga dan lehernya yang jenjang. Tangan kiriku memberikan sentuhan di klitorisnya, kutekan dan kugoyang ujung jariku di sana.

“Oookkh… Masss Andiii… aaaku… kann… ngen… ” katanya terbata saat aku menciumi belakang lehernya. Tubuhnya mulai menggigil dan Yunita diam sesaat merasakan pejalnya batang kemaluanku mengisi rahimnya, wajahnya menahan sesuatu untuk diekspresikan. Aku merasakan bahwa ia sebentar lagi mendapatkan orgasmenya, lantas buru-buru kubisikkan ditelinganya.
“Tumpahkan semua rindumu Sayang.. aku akan menyambutmu…” bisikku mesra.
“Iiii.. yyaach Masshh…” ia mulai memejamkan matanya untuk sensasi tersebut.
Aku membantunya mempercepat tempo permainan ujung jariku di klitorisnya, sementara itu ujung lidahku juga tidak ketinggalan memutar-mutar putingnya dan sesekali menyedotnya lembut.

Hampir lima menit Yunita mulai membuka bibirnya dan kedua matanya dibuka sayu menikmati kemesraan yang ada. “Ookkh… aakhh.. aakkhh… Masss… sshh…” hanya itu yang ia ucapkan. Desahan-desahannya membuatku semakin bernafsu menjelajahi seluruh tubuhnya dengan ujung lidahku dan ketika aku sampai pada ketiaknya buru-buru Yunita menarik kepalaku. Ia lantas melumat bibirku kesetanan bagai tiada hari esok dan semenit kemudian berbisik, “Mmmhh… Mass… ssshhh.. Yunita mmm… mmauu…” lantas aku melumat bibirnya dan kulepas permainanku di klitorisnya. Tangan kiriku kutarik ke atas untuk menstimulasi puting kirinya dan ternyata usahaku tidak sia sia. “Aaa… aakkkh… aakkhh… akkhhh… oohghh…” desah Yunita dalam erat dekapanku. “Oookhh… nikkk… matthh… Saayy.. yang…” bisiknya mengakhiri orgasmenya menandakan kepuasan dari cinta kami berdua. Aku mengambil jaketku dan menutupi bagian pribadi kami yang sempat morat-marit. Meskipun batang kemaluanku masih tertancap dalam-dalam akan tetapi aku tidak ingin mengakhirinya dengan ejakulasiku karena situasi saja yang tidak memungkinkan.

“Aaawww… geli Masss…” desah Yunita geli oleh denyutan batang kemaluanku.
“Baik Nita sayang.. aku akan mencabutnya…”
Bersamaan itu,
“Aaahhh,” Nita menjerit lirih kegelian.
Kami pun tertidur bersama hingga sampailah kami di kota Atlas, kota yang penuh kenangan bagi kami berdua dan istriku tercinta.
“Dik Nita sekarang tinggal dimana?” tanyaku sambil mengemasi bawaanku.
Belum sempat Nita jawab HP-ku berbunyi rupanya dari istriku yang menanyakan tentang perjalananku.
“Iya Maa.. aku udah nyampai di Semarang dengan selamat,” jawabku singkat.
“Awas kalau mampir-mampir,” ancam istriku bercanda.
“OK, Bosss,” lantas aku menutup pembicaraan itu.

“Dari Istri Mas?” tanya Nita padaku.
“Hem em,” aku malas menanggapi.
Nita dan istriku adalah sama-sama bekas pacarku dan keduanya saling tahu tentang aku bahkan pribadi mereka masing-masing.
“Eh Mas Andi mau kemana sich?” selidik Nita.
“Mau ke rumahmu,” jawabku enteng.
“Ee… ee… Enak saja, ketahuan suamiku berabe lho.”
“Aku serius lho,” desakku.
Nita mengernyitkan dahinya lagi penuh tanda tanya.
“Benar nich,” sahutnya.
“Hem emm Sayaangg…” jawabku sambil kukecup bibirnya dan kumainkan ujung lidahku di rongga mulutnya.
“Aaakkh.. udah ach.. maunya yang anget teruss,” Nita menepis pelan pipiku.
Aku lantas merangkul dia ke dalam pelukanku. Angan laki-lakiku pun mulai berimprovisasi dan aku telah menemukan retorika tepat untuk dia.

“Nit aku khan belum puas melepas rindu ama kamu, kita lanjutin di Hotel Garden Palace yukk!” ajakku mengharap jawaban iya dari Nita.
Tapi Nita diam saja tak bergeming, sialan pikirku. Ketika kondektur berteriak bahwa bus telah sampai di sebuah halte, Nita menegakkan badannya isyarat bahwa ia akan turun maka aku membimbingnya (sebetulnya aku akan turun diterminal Terboyo). Lantas kami pesan taksi dan aku bilang pada supir untuk ke Garden Palace Hotel, saat itulah Nita hendak mengucapkan sesuatu. Buru-buru aku menepisnya dan memainkan ujung lidahku di belakang kupingnya. “Aku masih kangen Nit,” kataku berusaha untuk meyakinkannya.

Singkatnya kami segera pesan kamar yang menghadap ke Semarang bawah. Setelah mandi dan makan malam kami terlibat obrolan agak lama tentang masa lalu kami. Kunyalakan channel Video dan malam itu kebetulan di putar Blue XXX. Aku menatap wajah Nita makin gelisah, mungkin ini perselingkuhan pertama bagi dia, meskipun bagiku ini merupakan yang pertama juga. Wajar ia takut suaminya dosa dan keinginannya untuk mendapatkan kehangatan dan kelembutan kasih dariku. Aku merangkul pundaknya.
“Kamu OK saja Nit?” tanyaku membuka pembicaraan kami.
“I.. iiiya.. Mas…” jawabnya.
“Aku pijitin kamu yach,” kataku sambil menarik punggungnya membelakangiku.
Aku memijit mulai dari kedua pundaknya, lengan, pinggul dan kembali ke lehernya.
Saat jemariku menelusuri lehernya Nita mendesah lembut.
“Akkkhhh…” desahnya.
“Enak khan Yang?” tanyaku sambil mendekatkan bibirku ke belakang lehernya.
“Oookh… Mashh…” desahnya.
Rupanya pancinganku berhasil, lantas aku pun tak menyia-nyiakan kesempatan kami berdua.

Kali ini aku sudah dikuasai nafsuku, dengan cepat aku membalikkan tubuhnya menghadapku. Aku mulai menjelajahi seluruh tubuhnya dan satu persatu gaun tidur yang dikenakan kulepaskan dan kini di hadapanku sosok ibu muda yang putih mulus seksi menunggu kehangatan dariku. Kusapu seluruh tubuhnya dengan lidahku. Nita memejamkan matanya dan hanya bisa mendesis melenguh dan mendesah. Tubunhya kini bagai bermuatan listrik beribu-ribu volt. Sumsum tulangnya menjadi nyeri dan permukaan kulitnya terasa geli dan harus disentuh. “Aaakhhh… nimaatthh.. terusss Mass…” teriaknya keras saat aku mulai menjilat klitorisnya dan memainkan ujung lidahku di sana. Aku lantas menelusupkan jari tengahku di liang senggamanya, ia tersentak sebetar lantas menggoyang-goyangkan pinggulnya pelan.
“Emmhhh… oookhhh… cepat Mas masuki aku…” pinta Nita.
“Baik Sayang…” kataku, lantas mengambil sikap untuk siap-siap menyetubuhinya.
Kurengkuh tengkuknya, sementara mulutku asyik mengulum dua buah bukit nikmatnya. Dan di bawah perut sana…
“Sleepph…” batang kemaluanku masuk setengahnya.
“Ookh…” Nita mendongak.
Dan satu hentakan lagi batang kemaluanku memasuki dan menyumpal liang kemaluannya.
“Oookkh… ookkkh.. aaakkkkhh… sedot terusss Masshhh.. puaskan aku malam iniii..” ceracau Nita tak beraturan.
“Aaakkhh… aaakkkhhh… mmppphhh..” Nita mengguman merasakan tubuhnya hangat dan sela selangkangannya amat nikmat.

Aku mulai menggejot perlahan dan seirama gerakan batang kemaluanku Nita mengimbangi dengan goyangan pinggulnya. Lima menit berlalu samapailah Nita pada puncak yang diinginkannya, Nita histeris memanggil-manggil namaku disela-sela desah nafasnya. Aku pun tak ingin menyia-nyiakan waktu itu dan kugenjot lebih keras lagi dan Nita semakin tak beraturan mengatur posisi orgasmenya.
“Nit… aku mau… di dalam attt.. tau…” tanyaku pada Nita.
“Mmpphh… ookkkh… aaakkhh… aakhhh…” Nita semakin dahsyat dan malah mempererat pelukannya.
“Aaakkhh…” pekikku tertahan dan kepalaku mendongak mencurahkan birahiku di rahimnya.
“Aaawww… aakkh… aaakkk.. Maass.. sshhh…” Nita mencengkeram punggungku saat tetes demi tetes maniku menyembur dinding rahimnya.
Kujatuhkan diriku di samping Nita dan kuraih minuman segar lantas kuberikan pada Nita. Kami pun berpelukan mesra dan saling melepas perasaan rindu masing-masing dan malam beringsut, kami pun mengulangi lagi hingga pagi membangunkan kami berdua. Kuantar ia hingga station bus kota itu untuk menuju rumah kontrakannya di Semarang Barat. Aku sendiri melanjutkan perjalananku ke Surabaya dan aku kini kehilangan kontak dengannya.

Demikianlah kisahku dan aku membuka komentar dari para netter. Untuk para ibu muda dan tante-tante, aku membuka kesempatan untuk berkomentar.


TAMAT